Monday, August 23, 2010

Sejarah Najd dan Hubungannya dengan Daulah 'Utsmaniyyah

Berawal dari dakwah yang dikembangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, negeri Najd dan sekitarnya berkembang menjadi negeri tauhid yang diliputi ketentraman, setelah keterpurukan agama dan keterbelakangan sosial menggayuti negeri ini. Namun hal ini justru dianggap sebagai ancaman besar bagi Daulah Utsmaniyah yang banyak dipengaruhi aqidah Sufi.

Pengetahuan tentang sejarah Najd dan negeri-negeri di sekitarnya sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim dalam rangka mengenal hakikat sebenarnya dari dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, di mana fakta dan sejarah tentang dakwah beliau telah banyak diputarbelit oleh ahlul batil hingga kini, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah, Tashawwuf, ataupun kaum hizbiyyin dari kalangan neo Khawarij, baik dari kelompok Hizbut Tahrir ataupun yang lainnya.
Perlu diketahui bahawa Negeri Najd sejak sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahkan sejak jauh hari sebelum kelahiran beliau, benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan dan sangat bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini ditinjau dari dua sisi, baik dari sisi kehidupan keagamaan masyarakat Najd secara umum pada masa itu, ataupun dari sisi kehidupan sosial politik serta keamanan negeri tersebut dan sekitarnya.
Najd adalah bahagian dari kawasan Jazirah Arabia yang terletak antara Hijaz dan Iraq1.

Sejarah Kehidupan Keagamaan Najd
Pada masa itu, kaum muslimin di negeri Najd dan Al-Ahsa` serta negeri-negeri yang lainnya, sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, telah tenggelam dalam kehidupan yang penuh kesyirikan, bid’ah, dan khurafat, serta kemaksiatan. Mereka telah mencampakkan bimbingan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta para sahabat radhiallahu 'anhum. Berbagai macam bentuk ibadah kepada selain Allah mereka lakukan, ber-istighatsah dan meminta tolong serta perlindungan kepada makhluk-makhluk, baik wali, jin, batu, pohon, dan yang lainnya.
Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di salah satu daerah Najd yang terkenal dengan nama Balidah. Ada sebuah sebuah pohon kurma pejantan, yang terkenal dengan nama Al-Fida’. Pohon itu dikenal kerana kejantanannya, sehingga manusia datang ke tempat tersebut untuk meminta berbagai macam permohonan kepadanya.
Orang-orang yang mengalami kesempitan rezeki, musibah, atau penyakit, datang untuk memohon jalan keluar dari musibah-musibah yang mereka alami. Begitu juga seorang wanita yang ingin segera mendapatkan jodoh, memohon dengan mengatakan: “Wahai pohon pejantan yang ampuh, berilah aku seorang suami…dst.”2
Tak luput pula di daerah Ad-Dir’iyyah, tempat cikal bakal kemunculan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ad-Dir’iyyah telah dipenuhi dengan berbagai macam kesyirikan. Di antaranya adalah adanya sebuah makam di salah satu gua pada sebuah gunung di negeri tersebut yang kebanyakan orang meyakininya sebagai makam seorang wanita cantik yang terkenal dengan julukan Bintul Amir. Konon, dia adalah seorang wanita yang bertakwa dan banyak beribadah.
Suatu hari, ia keluar rumah dan sampai di gunung tersebut. Ternyata di sana ada segerombolan lelaki jahat yang hendak menodai kehormatannya. Melihat kondisi ini, wanita tersebut berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari bahaya. Belum selesai dari doanya, ternyata salah satu sisi dari gunung tersebut terbelah, kemudian wanita itu segera memasukinya hingga dia pun mengakhiri hidupnya di goa tersebut. Setelah itu, beredar keyakinan bahawa wanita itu adalah salah seorang wali Allah. Maka berdatanganlah manusia ke tempat itu meminta barakah, rizki, dan jalan keluar atas segala penyakit mahupun musibah yang menimpa mereka.3
Kemudian, beberapa negeri di luar Najd, seperti Mesir, Iraq, India, dan Yaman, dan juga sebahagian besar daerah di wilayah kekuasaan Dinasti ‘Utsmani telah dipenuhi berbagai macam praktek kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan kemaksiatan.
Di Mesir, pada waktu itu umat Islam melakukan doa dan istighatsah serta penyembelihan haiwan-haiwan sebagai sesaji untuk kuburan Al-Badawi dan Ar-Rifa’i. Di Iraq, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi kuburan Abdul Qadir Al-Jailani. Di Makkah dan Ath-Tha`if pun tak luput dari praktek-praktek kesyirikan, di mana mereka beramai-ramai mendatangi kuburan Ibnu ‘Abbas. Demikian pula negeri Yaman dengan kuburan Ibnu ‘Alwan-nya.4

Sejarah Kehidupan Politik dan Keamanan Najd
Kehidupan sosial politik dan keamanan di Negeri Najd sejak sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu adalah sebuah kehidupan yang sangat mengerikan.
Hukum yang berlaku adalah hukum kekabilahan. Masing-masing daerah terpisah dari daerah yang lainnya dan tercerai berai di bawah kekuasaan para pemimpin kabilah, yang majoriti mereka terkungkung kejahilan dan hawa nafsu. Penguasa negeri yang memiliki kekuatan berambisi untuk menawan negeri lainnya yang cenderung lebih lemah.
Di setiap negeri terjadi peperangan, pembunuhan, serta kezaliman. Perasaan takut dan mencekam meliputi negeri Najd. Kaum wanita pun menjadi tawanan yang ternodai dan diperjualbelikan harga dirinya. Para perompak di jalan-jalan menjadi momok besar bagi para pedagang yang hendak lalu.
Salah satu pembesar kabilah yang terkenal dengan kekejamannya adalah penguasa kota Ar-Riyadh yang dikenali dengan Dahham bin Dawwas. Seorang pendusta yang zalim, yang dikenal dengan kemunafikannya, menghalalkan berbagai macam perkara yang diharamkan. Dia adalah seorang pelayan di istana penguasa Riyadh, yang kemudian dengan segala tipu dayanya berhasil menduduki kerusi kekuasaan.
Disebutkan di antara kekejamannya adalah ketika suatu hari dia marah terhadap seorang wanita, maka mulut wanita tersebut dijahit. Dan pada hari lain, dia menyiksa seorang lelaki yang tak bersalah dengan bentuk seksaan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Dia potong paha lelaki tersebut dan diperintahkannya untuk memakan potongan daging pahanya sendiri. Kondisi yang mengerikan ini, tak ada satu pihak pun yang mampu menghentikannya.
Hingga Allah lahirkan seorang ulama besar yang menyeru kepada tauhid dan Sunnah, serta mengajak umat untuk menegakkan syariat Islam di bumi Najd khususnya dan negeri-negeri muslimin secara umum. Dialah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.
Yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan di atas adalah pengenalan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah pada masa itu kaitannya dengan keberlangsungan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di daerah Najd. Pembahasan ini meliputi:

Hubungan Najd
dengan Daulah ‘Utsmaniyyah

ramai pihak menyatakan kawasan Najd pada masa itu adalah bahagian dari teritorial kekuasaan Dinasti ‘Utsmani. Sehingga dari sinilah muncul anggapan bahawa gerakan dakwah di Najd yang dipimpin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan dukungan penuh dari Penguasa Ad-Dir’iyyah, iaitu Al-Amir Muhammad bin Su’ud dan keluarganya, sebagai bentuk pemberontakan atau gerakan separatis yang memberontak terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan miring ini muncul disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1. Adanya pihak-pihak yang benci dan sakit hati terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mendorong mereka untuk memutarbalikkan fakta serta menyebarkan isu-isu dusta tentang dakwah beliau sebagaimana akan kami jelaskan dalam kajian Musuh-musuh Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
2. Jauhnya umat dari para ulama Ahlus Sunnah dan referensi-referensi Islam yang boleh dipertanggungjawabkan.
Untuk menjawab beberapa tuduhan miring di atas, maka perlu kami jelaskan tentang eksistensi Najd dan hubungannya dengan Dinasti ‘Utsmani.
Sejarah mencatat bahawa Najd secara umum pada waktu itu atau daerah Ad-Dir’iyyah secara khusus, iaitu negeri tempat munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, tidak termasuk wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Bukti dari hal ini adalah apa yang dipaparkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, Rektor Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universiti Islam) Madinah, dalam disertasi doktoral yang beliau susun dengan judul ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab As-Salafiyyah wa atsaruha fi Al-‘Alam Al-Islamy (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyah serta pengaruhnya dalam dunia Islam), beliau berkata (I/40-41):
“Belahan bumi Najd secara umum tidak menyaksikan adanya pengaruh apapun dari Daulah ‘Utsmaniyyah terhadapnya. Demikian juga kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah tidak sampai menyentuh bumi Najd.” (lihat Tarikh Al-Biladil 'Arabiyyah As-Su’udiyyah, Dr. Munir Al-‘Ajlani).
Tidak seorangpun penguasa ‘Utsmaniyyah yang datang ke sana. Tidak pula perlindungan keamanan Turki menyentuh daerah-daerah Najd sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullahu. Di antara bukti yang menunjukkan hakikat sejarah tersebut adalah: Penelitian pembahagian daerah-daerah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah, dari sebuah cacatan rasmi Turki yang berjudul: Qawanin Ali ‘Utsman Durr Madhamin Daftar Diwan (Undang-undang Dinasti ‘Utsmani yang dikandung oleh catatan sipil negeri tersebut) karya Yamin ‘Ali Afnadi, seorang penanggung jawab rasmi catatan sipil Al-Khaqani pada tahun 1018 H, bertepatan dengan tahun 1690 M. Catatan tersebut disebarkan Sathi’ Al-Hashri melalui buku Negara-negara Arab dan Daulah ‘Utsmaniyyah.
Melalui catatan rasmi tersebut, diketahui dengan jelas bahawasanya sejak awal abad ke-11 H, Daulah ‘Utsmaniyyah terbagi menjadi 32 propinsi, 14 di antaranya adalah propinsi-propinsi Arab. Dan daerah Najd tidak termasuk dalam 14 bahagian tersebut, kecuali hanya wilayah Al-Ahsa`, itupun jika kita menganggap Al-Ahsa` merupakan bahagian dari Najd. (lihat kitab Al-Biladul 'Arabiyyah wa Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, karya Sathi’ Al-Hashri hal. 230-240; dan Intisyaru Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-'Arabiyyah, karya Muhammad Kamal Jam’ah, hal. 13)
Sehingga atas dasar penjelasan di atas, sangat tidak benar jika pergerakan dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu merupakan gerakan pemberontakan terhadap penguasa yang sah pada waktu itu. Kerana Najd berada di luar daerah teritorial Daulah ‘Utsmaniyyah.
Namun yang ada adalah usaha pemulihan dan penataan kembali daerah Najd dan negeri-negeri yang di bawah naungannya, yang sebelumnya telah dipenuhi berbagai macam keterpurukan, baik dalam bidang keagamaan yang majoriti umat dan negeri-negeri di Najd telah melakukan praktek-praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat, mahupun dalam bidang sosial politik dan keamanan yang dipenuhi dengan pembunuhan, penindasan, dan saling menyerang satu terhadap yang lainnya.
Dengan pergerakan dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, Najd berubah menjadi sebuah kekuatan besar yang mengkhawatirkan musuh-musuh tauhid, baik dari kalangan penjajah ataupun dari kalangan ahlul batil, baik tashawwuf ataupun kaum Syi’ah Rafidhah.

Kondisi Politik dan Keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah di Masa itu
ramai pihak menangisi dan meratapi keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Namun sangat disayangkan, tangisan dan ratapan tersebut tidak disertai dengan sikap yang adil dan ilmiah untuk menjadikannya sebagai pelajaran dan upaya instrospeksi diri, mengapa dan apa sebab-sebab keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Yang ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Dakwah ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Padahal kalau mereka mahu jujur dan mempelajari dengan seksama bahawa Daulah ‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Disebutkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoralnya yang berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam): “Bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12 H -iaitu sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/ dianggap tidak ada).
Banyak penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat mahupun Eropa Timur. Hal itu ditandai dengan adanya penanda-tanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang) dekat Sungai Danube pada tahun 1110 H, bertepatan dengan 1699 M5 dengan Pemerintahan Rusia. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II. Hal itu merupakan bukti rasmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Akibat kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh.
Barat menggelari penguasa Dinasti ‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit. Kemudian Barat sepakat untuk mulai membahagi-bahagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu. Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah ‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.
Secara kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keislaman, dan terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara.6 Akibat dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan. Bahkan sebahagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil.7
Muhammad Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar: “Di kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.”
Keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam mahupun di luar negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya yang ingin melepaskan diri dari Daulah (lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal. 47) sehingga pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka. Hingga kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa` disebabkan revolusi perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya pada tahun 1080 H. (lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr) –sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud

Kondisi Aqidah dan Keagamaan Daulah ‘Utsmaniyyah

Daulah ‘Utsmaniyyah ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tashawwuf, mendukung penuh gerakan Sufi dengan berbagai macam tarekat-tarekatnya, yang sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid. Dalam pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat, termasuk sebagian adat peribadatan Nashara, seperti cara kehidupan kependetaan yang dikenali dengan Ar-Rahbaniyyah, melantunkan dzikir-dzikir dengan lantunan nada diiringi tari-tarian, disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid, dan berbagai macam aliran bid’ah yang lainnya.
Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu, Persia, dan Yunani dengan berbagai macam dakwah aqidah yang menyesatkan. Seperti aqidah Al-Hulul dan Al-Ittihad serta Wihdatul Wujud (aqidah yang meyakini bahawa Allah ada di mana-mana dan telah menyatu dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, atau sering dikenal di negeri Indonesia ini dengan manunggaling kawula gusti). Aqidah ini merupakan aqidah sesat dan menyesatkan yang dimotori tokoh-tokoh sesat tashawwuf semacam Al-Hallaj dan yang lainnya.
Pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah beranggapan bahawa gerakan tashawwuf merupakan inti agama Islam. Sehingga para penguasanya benar-benar menghormati dan merendahkan dirinya di hadapan tokoh-tokoh tashawwuf serta berlebihan dalam mengagungkan mereka.
Di negeri tersebut dan daerah-daerah kekuasaannya, dipenuhi dengan kubur-kubur yang diagungkan dan dikeramatkan dengan didirikan kubah-kubah di atasnya. Hal itu dilindungi secara rasmi oleh Daulah ‘Utsmaniyyah, sehingga banyak umat yang datang ke kubur-kubur dalam rangka mengagungkannya. Demikian juga menyembelih qurban dan bernadzar untuk selain Allah telah tersebar luas dan merata di Daulah ‘Utsmaniyyah. Doa dan istighatsah kepada kubur merupakan suatu keadaan yang menyelimuti negeri tersebut.8
Gambaran dan keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah yang rapuh dan rosak aqidahnya seperti di atas, telah ada jauh sebelum dilahirkannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Semua itu berakibat semakin lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah, tercerai berainya persatuan mereka, sehingga mereka benar-benar lemah di hadapan musuh-musuhnya. Hilang wibawa mereka sehingga dengan penuh kerendahan dan kehinaan mereka harus menandatangani perjanjian damai dengan negara-negara kafir, yang menunjukkan betapa lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah. Ini semua merupakan bukti nyata bahawa Daulah ‘Utsmaniyyah tidak menjunjung tinggi tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu, Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada mereka. Telah hilang dari mereka janji Allah dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah nescaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Muhammad: 7)
Mereka tercerai berai kerana mereka telah meninggalkan prinsip dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maha Benar Allah yang telah berkata di dalam kitab-Nya:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kalian ikuti as-subul (bid’ah dan syahwat), kerana (jalan-jalan itu) menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian, agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Dengan tercerai-berainya ini, kerana meninggalkan tauhid dan Sunnah, yang kemudian diikuti ambisi masing-masing pihak dalam bentuk berbagai pemberontakan, akhirnya berujung pada hilangnya kekuatan dan kewibawaan mereka di hadapan musuh-musuh-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” (Al Anfal: 46)
Dan benar pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah menyatakan:

وَجُعِلَ الذِّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

“Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi pihak-pihak yang menyelisihi perintahku.” (HR. Ahmad)9
Jika boleh disimpulkan, bahawa keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah disebabkan dua faktor utama:
1. Faktor kelemahan politik dan keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah yang ditandai dengan:
a. Kekalahan dalam perang menghadapi kekuatan kafir Eropa sehingga terpaksa harus menandatangani perjanjian damai, sejak jauh hari sebelum lahirnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
b. Banyaknya gerakan separatis di daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah.
c. Keadaan parlemen dan kementerian negara yang telah banyak disusupi oleh kaki tangan asing dalam rangka meruntuhkan kekuatan negara dari dalam.
2. Faktor aqidah dan kehidupan keagamaan pemerintah Daulah ‘Utsmaniyyah mahupun rakyatnya, yang telah banyak diwarnai kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta kemaksiatan.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, hilanglah kesempatan mereka untuk meraih janji Allah yang disebutkan dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal soleh bahawa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan-Ku….” (An-Nur: 55)
Wallahu a’lam.


foot note:

1 Sebagaimana dalam Al-Mu’jamul Wasith, penerbit Al-Maktabatul Islamiyyah
2 Lihat kitab Muhammad bin Abdul Wahhab, karya Ahmad Abdul Ghafur ‘Aththar, hal. 20; dan kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi, hal. 36.
3 Ibid, hal. 21.
4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi. Karya Asy-Syaikh Mas’ud An-Nadwi; hal 32.
5 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu lahir 1115 H, 5 tahun setelah perjanjian damai tersebut ditandatangani. Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan bentuk persekongkolan untuk meruntuhkan Daulah ‘Utsmaniyah. Maka sangat tidak benar apa yang dituduhkan beberapa penulis dari kelompok Hizbut Tahrir dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah (edisi Indonesia: Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
6 Lihat kitab Fikrah Al-Qaumiyyah Al-’Arabiyyah ‘ala Dhau`i Al-Islam, Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, hal. 35-56; Intisyaru Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-'Arabiyyah, M. Kamal Jam’ah, hal. 11-12.
7 Lihat kitab Hadhirul ‘Alam Al-Islamiy, Watsrub Al-Imriky dengan footnote dari Asy-Syaikh As-Salam, 1/259.
8 Lihat Al-Intisyar, hal. 11-14.
9 HR. Ahmad II/50, 92 dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa` no. 1269

(http://asysyariah.com/print.php?id_online=334)

Sunday, August 22, 2010

Kaedah Angkat Takbir: Zamihan al-Ghari Permainkan Tatacara Solat Umat Islam

Kaedah Angkat Takbir: Zamihan al-Ghari Permainkan Tatacara Solat Umat Islam
http://bahaya-syirik.blogspot.com/

Zamihan (salah seorang ustaz di bawah kelolaan JAKIM dan ILIM) sebagaimana di dalam youtube dengan tajuk (ust zamihan al-Ghari-demo solat wahabi 1)  telah menyatakan bahawa cara angkat takbir dengan tangan dalam solat pada (atau sehingga) bersamaan paras bahu sebagai ritual solat Wahhabi sambil bermain-main, berlawak, dan bersenda-gurau:








Pencerahan:

Apa yang tepat berdasarkan hadis, tsabit dua kedudukan paras tangan ketika angkat takbir dalam solat:

1 - Pertama, tangan diangkat sehingga sejajar dengan bahu:



اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ اِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَاِذَا كَبَّرَ للرُّكُوْعِ ، وَاِذَا رَفَعَ رَاْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ


Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya sehingga setara (sejajar) bahunya ketika memulakan solat, setiap kali bertakbir untuk ruku’ dan setiap kali bangkit dari ruku’. (Hadis Riwayat al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, 3/172, no. 693)


رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ


Terjemahan: (Hadis daripada Salim, daripada ayahnya beliau berkata) Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua bahunya ketika memulai solat, ketika hendak ruku’, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’. Beliau tidak megangkat kedua tangannya di antara dua sujud. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 2/338, no. 586)


2 - Kedua, tangan diangkat sehingga sejajar dengan anak telinga:


اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَ اِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا اُذُنَيْهِ


Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa mengangkat kedua tangannya setara (sejajar) telinganya setiap kali bertakbir. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 2/341, no. 589)


Berkenaan perkara ini, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (wafat: 620H) meletakkan satu bab di dalam kitabnya, al-Mughni:


وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إلَى فُرُوعِ أُذُنَيْهِ، أَوْ إلَى حَذْوِ مَنْكِبَيْهِ


Hendaklah orang yang solat mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar daun telinga atau sehingga sejajar dengan kedua bahunya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 2/326)


Kemudian beliau menjelaskan:


وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي رَفْعِهِمَا إلَى فُرُوعِ أُذُنَيْهِ أَوْ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ ، وَمَعْنَاهُ أَنْ يَبْلُغَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ ، وَإِنَّمَا خُيِّرَ لِأَنَّ كِلَا الْأَمْرَيْنِ مَرْوِيٌّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَالرَّفْعُ إلَى حَذْوِ الْمَنْكِبَيْنِ ؛ فِي حَدِيثِ أَبِي حُمَيْدٍ وَابْنِ عُمَرَ ، رَوَاهُ عَلِيٌّ وَأَبُو هُرَيْرَةَ ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَإِسْحَاقَ. وَالرَّفْعُ إلَى حَذْوِ الْأُذُنَيْنِ رَوَاهُ وَائِلُ بْنُ حُجْرٍ ، وَمَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ ، وَقَالَ بِهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ


Setiap orang bebeas memilih di antara mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar daun/cuping telinga atau mengangkatnya sehingga sejajar dengan kedua bahunya. Yang jelas, hendaklah hujung-hujung jari kedua tangan tersebut sampai (setara/sejajar) pada salah satu di antara dua tempat di atas. Kedua-dua cara ini sama-sama diriwayatkan daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.


Mengangkat kedua tangan sehingga sejajar dengan kedua bahu memiliki sandaran/asas riwayat daripada Abu Humaid dan Ibnu ‘Umar daripada ‘Ali dan Abu Hurairah. Imam asy-Syafi’i dan Ishaq juga mengikuti pandangan ini. Manakala mengangkat kedua tangan sehingga sejajar dengan kedua telinga memiliki sandaran/asas riwayat daripada Wa’il B. Hujr, Malik B. Huwairits melalui Muslim. Pendapat kedua ini juga dipegang oleh sebilangan ulama. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 2/327)


Cukuplah saya nukilkan 3 buah hadis dan penjelasan daripada Imam Ibnu Qudamah ini sebagai sebuah pencerahan kepada apa yang ditimbulkan dan dipersendakan oleh Zamihan al-Ghari. Semoga ia mampu membuka mata kita semua bahawa Zamihan al-Ghari sedang mempermain-mainkan kita semua daripada memahami urusan praktikal solat yang benar.


Dan apa yang tepat sebagai kesimpulan adalah paras tangan ketika mengangkat takbir itu ada dua cara yang tsabit daripada hadis Nabi yang sahih serta sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah.


Persoalan gurau-senda sehingga memperli solat seperti Wahhabi dan anak Pak Wahhab dalam persoalan ritual solat seperti ini tidak sewajarnya timbul kerana ianya berasaskan kepada hadis atau dalil yang sahih serta turut dipegang oleh para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Semoga Zamihan al-Ghari kembali memperbaiki keterlanjurannya atau pihak-pihak berwajib tertentu perlu mengambil tindakan yang sewajarnya supaya hal-ehwal agama kita tidak menjadi bahan permainan dan gurauan. Apatah lagi ianya menyentuh persoalan agama yang asas, iaitu persoalan berkaitan ritual/ibadah solat.

Wallahu a’lam...


http://bahaya-syirik.blogspot.com/

Isyarat Jari Telunjuk: Zamihan al-Ghari Berdusta Atas Nama Ulama!

Isyarat Jari Telunjuk: Zamihan al-Ghari Berdusta Atas Nama Ulama!

Zamihan, salah seorang yang digelar ustaz dan menjawat jawatan di bawah kelolaan JAKIM dan Institut Latihan Islam Malaysia (ILIM) berkata (sebagaimana dapat dilihat daripada video Youtube):

Berikut salinan teks ucapan Zamihan: “... Ketika tahiyat, tengok tahiyat dia... dia (Wahhabi) gonjeng, gonjeng, gonjeng, gonjeng... dia gonjeng, gonjeng, gonjeng... (sambil beliau memperli menggerak-gerakkan jari telunjuk). Ini tak power lagi tuan, lebih power lebih kaw dari kopi kapal api: Piaawww... (sambil memusing-musing menggerakkan jari telunjuknya). (Para hadirin/penonton ketawa). Minta maaf la tuan-tuan, ini betul-betul berlaku. Terutama balik haji balik Mekah ni. Dia pergi sana tiru orang sembahyang: (sambil menggerak-gerakkan jarinya) gedek, gedek, gedek... (dan seterusnya...)

Beliau berkata lagi:

Dalam mazhab kita, imam Nawawi dalam fatwanya, muka surat 54 mengatakan:

“Barang siapa yang menggerakkan jari telunjuk dengan sengaja, maka dimakruhkan. Gerak jari telunjuk banyak kali makruh. Tapi gerak jari telunjuk dengan sengaja haram, batal solatnya. Gerak jari telunjuk dengan sengaja haram, batal solatnya....

... Kita bukak-lah kitab mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, mazhab Maliki... Tidak ada penjelasan ulama gerak jari telunjuk secara berterusan. Kecuali ini golongan yang ijtihad daripada ketua wahhabi, iaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

...Mereka sembahyang haa ni, at-Tahiyatul (Zamihan sambil menggerak-gerakkan jarinya) Tuan-tuan buatlah (gerak jari), ikut mazhab Syafi’i, batal sembahyang... Wajib diulangi solat berkenaan.
” (Rujuk Video: Youtube)

Demikianlah perkataan Zamihan al-Ghari yang kelihatannya seakan bersandarkan kepada hujjah yang ilmiyah. Namun hakikatnya, ia tidak lebih dari sekadar lawak jenaka yang dibuat-buat oleh orang yang bodoh dan tidak memiliki adab dalam menyampaikan dakwah (agama). Daripada apa yang beliau sampaikan tersebut, ada beberapa persoalan yang dapat kita timbulkan dan perlu dikaji-ulang dengan teliti serta ilmiah.

Persoalan yang timbul:

1 – Benarkah Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan sebagaimana yang diperkatakan oleh Zamihan al-Ghari?

Zamihan menyebutkan bahawa Imam an-Nawawi berkata: Barang siapa yang menggerakkan jari telunjuk dengan sengaja, maka dimakruhkan. Gerak jari telunjuk banyak kali makruh. Tapi gerak jari telunjuk dengan sengaja haram, batal solatnya. Gerak jari telunjuk dengan sengaja haram, batal solatnya...

2 – Benarkah tiada seorang ulama pun daripada empat mazhab yang menyebutkan persoalan ini (menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud)?

3 – Benarkah hanya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang mula-mula menyebutkan persoalan ini? Dan benarkah beliau telah memfatwakan gerakkan jari telunjuk di ketika tasyahud solat seperti apa yang ditunjukkan oleh Zamihan?

4 – Benarkah menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut membatalkan solat?

Sebelum itu, kepada para pembaca yang masih belum memahami persoalan sebenar atau pokok-pangkal perbahasan berkaitan, saya sarankan supaya terlebih dahulu merujuk kepada artikel saya terdahulu bertajuk “
Sahihnya Sunnah menggerak-gerakkan Jari Telunjuk Ketika bertasyahud Di dalam Solat”.

Pencerahan:

InsyaAllah, dengan sekadar kemampuan, penulis berusaha memberi pencerahan secara ringkas, padat dan sedikit jawaban kepada beberapa persoalan yang tersebut di atas.

Pertama: 1 - Benarkah Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan sebagaimana yang diperkatakan oleh Zamihan al-Ghari?

Berikut penulis nukilkan perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah sendiri dengan bersumberkan dua tempat atau kitabnya yang berbeza.

Perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam Kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:

وهل يحركها عند الرفع بالإشارة ؟ فيه أوجه ( الصحيح ) الذي قطع به الجمهور أنه لا يحركها , فلو حركها كان مكروها ولا تبطل صلاته ; لأنه عمل قليل

Terjemahan: Dan adakah jari telunjuk diacungkan dengan berisyarat/digerak-gerakkan (di ketika duduk bertasyahud dalam solat?

Pada persoalan ini terdapat beberapa pendapat, dan pendapat yang benar (menurut beliau – pen.) adalah sebagaimana yang disebutkan oleh jumhur (majoriti ulama) bahawasanya tidak perlu digerak-gerakkan dan makruh hukumnya jika digerak-gerakkan, tetapi tidaklah sehingga membatalkan solat, kerana sekadar gerakkan yang ringan (kecil/sedikit).

والثاني: يحرم تحريكها , فإن حركها بطلت صلاته , حكاه عن أبي علي بن أبي هريرة وهو شاذ ضعيف

Kedua: 2 - Pendapat kedua pula menyatakan: Adalah haram menggerak-gerakkanya, dan solatnya batal sekiranya jari telunjuk digerak-gerakkan. Ia diriwayatkan daripada Abi ‘Ali B. Abi Hurairah (dari kalangan ulama mazhab asy-Syafi’i) dan pendapat ini adalah pendapat yang syaadz (ganjil) lagi lemah.

والثالث: يستحب تحريكها , حكاه الشيخ أبو حامد والبندنيجي والقاضي أبو الطيب وآخرون وقد يحتج لهذا بحديث وائل بن حجر رضى الله عنه أنه وصف صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم وذكر وضع اليدين في التشهد قال " ثم رفع أصبعه فرأيته يحركها يدعو بها " رواه البيهقى باسناد صحيح

Dan pendapat yang ketiga, disunnahkan (mustahab) untuk menggerak-gerakkan jari telunjuk. Ini adalah pendapat asy-Syaikh Abu Hamid, al-Bandiji, al-Qadhi Abu Thayyib, dan yang lain-lain. Dan mereka berhujjah berdasarkan hadis Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu yang menyebut bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meletakkan (menghamparkan) kedua tangannya dalam tasyahud: “Kemudian mengangkat jarinnya, maka aku pun melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdoa dengannya”, hadis ini riwayat al-Baihaqi dengan sanad yang sahih. (Rujuk: an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 3/454)

Di tempat yang lain, di dalam Kitab Raudhatuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftiin, Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

وهل يحركها عند الرفع وجهان؟

الأصح لا يحركها. ولنا وجه شاذ أنه يشير بها في جميع التشهد. قلت وإذا قلنا بالأصح إنه لا يحركها فحركها لم تبطل صلاته على الصحيح

Terjemahan: Adakah ketika telunjuk diangkat perlu digerak-gerakkan atau tidak? (Ada dua pendapat yang menjelaskan perkara ini):

Pertama: Pendapat yang ashah, tidak digerakkan.

Kedua: Iaitu pendapat yang syadz (ganjil), di mana telunjuk terus digerak-gerakkan selama bertasyahud.

Saya katakan (Imam an-Nawawi): Apabila kita katakan dengan pendapat yang ashah, maka tidak boleh digerakkan. Apabila digerakkan, maka tidak batal solatnya, berdasarkan pendapat yang sahih...” (an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin wa ‘Umdatul Muftiin, 1/262)

Demikianlah pendapat Imam an-Nawawi rahimahullah yang sebenar. Sekaligus sangat jelas bertolak-belakang dengan apa yang disebutkan oleh Zamihan al-Ghari di dalam ucapannya tersebut.

Secara ringkas, perkataan Imam an-Nawawi dapat difahami sebagai berikut:

1 – Terdapat tiga pendapat dalam persoalan menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika bertasyahud dalam solat bagi mazhab asy-Syafi’i.

2 – Imam an-Nawawi berpegang dengan pendapat yang pertama, iaitu beliau menyatakan: “tidak perlu digerak-gerakkan dan makruh hukumnya jika digerak-gerakkan, dan tidaklah sehingga membatalkan solat (jika digerak-gerakkan).” Sedikit pun Imam an-Nawawi tidak mengharamkannya (sebagaimana dakwaan Zamihan ke atas Imam an-Nawawi)! Bahkan Imam an-Nawawi menolak pendapat yang menyatakan hal tersebut haram serta batal jika melakukannya (gerak-gerak jari). Imam an-Nawawi menyatakan pendapat yang mengharamkan tersebut sebagai Syaazd (ganjil) dan lemah!

3 – Imam an-Nawawi dengan jelas menyatakan bahawa dalam kalangan ulama Syafi’iyah sendiri terbahagi kepada tiga (3) kelompok pendapat dalam persoalan ini, sekaligus menolak perkataan Zamihan bahawa persoalan ini sama sekali tidak pernah dibahaskan dalam mana-mana kitab atau mazhab.

4 – Dan Imam an-Nawawi telah menyerlahkan keilmuanya bahawa beliau berlapang dada dalam soal perbezaan pendapat bagi hal ini. Dan sama sekali tidak mencaci atau mentohmah di antara satu sama lain jika mahu dibandingkan dengan Zamihan al-Ghari yang kelihatannya amat berlagak, sombong, dan bongkak, tetapi hakikatnya beliau sangat jahil dan bodoh dari memahami hakikat sebenar secara ilmiah.

Dengan ini, persoalan pertama telah terjawab yang sekaligus membuktikan bahawa Zamihan al-Ghari sebenarnya telah berdusta atas nama Imam an-Nawawi rahimahullah! Semoga Zamihan bersedia menarik kembali keterlanjurannya dalam hal ini atau mengemukakan rujukan dari sumbernya yang lain yang dapat menguatkan kenyataannya yang asal.

Kedua: 2 – Benarkah tiada seorang ulama pun daripada empat mazhab yang menyebutkan persoalan ini (menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud)?

Persoalan ini telah pun terjawab dengan penjelasan yang dikemukakan melalui pencerahan pertama di atas. Di mana Imam an-Nawawi telah mengemukakan tiga bentuk pendapat dari kalangan ulama bermazhab Syafi’i.

Serta-merta, dakwaan Zamihan al-Ghari yang berikut:

... Kita bukak-lah kitab mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, mazhab Maliki... Tidak ada penjelasan ulama gerak jari telunjuk secara berterusan.

Telah pun terjawab!

Berikut saya tambahkan beberapa padangan dari kalangan ulama mazhab lainnya.

Mazhab Maliki:
Daripada sebahagian kitab-kitab ulama Malikiyah disebutkan bahawa:

واختلف في تحريكها فقيل يعتقد بالإشارة بها أن الله إله واحد ويتأول من يحركها أنها مقمعة للشيطان وأحسب تأويل ذلك أن يذكر بذلك من أمر الصلاة ما يمنعه إن شاء الله عن السهو فيها والشغل عنها

Terjemahan: ... dan telah diperselisihkan tentang menggerak-gerakkan jari telunjuk itu, sebahagiannya mengatakan, “Untuk meyakini bahawasanya Allah adalah satu-satunya sesembahan (Yang berhak untuk disembah)”, dan sebahagian lagi mengatakan bahawa maksud dari menggerakkannya adalah untuk menghalau dan menghinakan Syaitan, namun saya meyakini bahawa faedahnya adalah agar seseorang yang sedang solat itu selalu ingat akan solatnya dan insyaAllah akan dapat mencegahnya dari kealpaan dan kesibukan lainnya.”(Ahmad B. Ghunaiman (Wafat: 1126H), al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, 1/223-224)

Syaikh Dr. Muhammad B. ‘Umar B. Salim Bazmul hafizahullah menyebutkan daripada kitab-kitab mazhab Malikiyah:

... (Ketika duduk bertasyahud dalam solat) Disunnahkan juga untuk sentiasa menggerak-gerakkan jari telunjuk dengan gerakkan yang sederhana ke kiri dan ke kanan dari awal tasyahud sehingga selesai. Adapun tangan kiri dihamparkan di atas peha kiri dan tidak ada jari yang digerakkan atau diacungkan. (Rujuk: at-Talqin, m/s. 102-103. Bulghatus Salik, 1/120. Al-Fawaakih ad-Dawaani, 1/223. Dinukil dari: at-Tarjih fii Masaa’il ath-Thoharah wa ash-Sholah, edisi terjemahan/terbitan Darus Sunnah, m/s. 348, footnote no. 605)

Mazhab Hanbali:

... (Ketika duduk bertasyahud dalam solat) Disunnahkah mengacungkan (mengisyaratkan) jari telunjuk ketika mengucapkan dzikir dan tidak digerak-gerakkan menurut mazhab Hanbali yang sahih. Jari telunjuk diisyaratkan hanya pada ketika berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Rujuk: al-Kaafi, 1/140. Syarah az-Zarkasyi, 2/580-581. Al-Inshaaf, 2/76. Dinukil dari: at-Tarjih fii Masaa’il ath-Thoharah wa ash-Sholah, edisi terjemahan/terbitan Darus Sunnah, m/s. 349)

Dari Tokoh Nusantara (Tanah Melayu):

Tokoh Nusantara, Muhammad Idris al-Marbawi, beliau berkata di dalam kitabnya yang terkenal, Bahrul Madzi (Syarah Mukhtashar at-Tirmidzi):

“Ketahuilah kiranya, ya saudaraku! Bermula menggerak-gerakkan jari telunjuk di dalam tahiyat itu sunat jua pada mazhab Syafi’i. Bermula dalil atas menunjukkan tuntut gerak itu ialah hadis yang dikeluarkan oleh Abu ‘Isa at-Tirmidzi...” (Muhammad Idris al-Marbawi, Bahru al-Madzi, jil. 2, m/s. 365, al-Hidayah Publisher)

Beliau juga turut menyandarkan pendapatnya kepada perkataan Imam an-Nawawi dan at-Tirmidzi.

Demikianlah beberapa nukilan dari beberapa pandangan berdasarkan mazhab yang dapat diutarakan. Dengannya telah cukup bagi menjawab kelancangan Zamihan al-Ghari yang sekaligus menafikan kesombongan dan keceluparannya yang mengakibatkan beliau berdusta atas nama Kitab para ulama dan mazhab fiqh yang empat.

Ketiga: 3 – Benarkah hanya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang mula-mula menyebutkan persoalan ini? Dan benarkah beliau telah memfatwakan gerakkan jari telunjuk di ketika tasyahud solat seperti apa yang ditunjukkan oleh Zamihan?
Jawabnnya sudah tentu tidak benar. Kerana persoalan isyarat menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika bertasyahud dalam solat ini telah pun dibahaskan sejak lama dahulu. Ini telah dibuktikan dengan pencerahan pertama dan kedua di atas.

Seterusnya, berikut penulis nukilkan pandangan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah yang sebenar dalam persoalan kadar gerakkan jari telunjuk untuk perkara ini.

Pertamanya, penulis nukilkan daripada Syaikh Dr. Muhammad B. ‘Umar B. Salim Bazmul hafizahullah, bahawa beliau menjelaskan:

Hadis ini (iaitu hadis daripada Wa’il B. Hujr tentang sunnah menggerak-gerakkan jari ketika bertasyahud dalam solat, rujuk: Blog fiqh-sunnah) menunjukkan disyari’atkan menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud. Lalu adakah maksud menggerak-gerakkan di sini adalah mengangkat jari ke atas dan ke bawah atau dengan gerakkan melingkar ke kiri dan ke kanan, ataukah sekadar gerakkan ringan tidak sehingga seperti gerakkan sebelumnya?

Maksud teks hadis adalah memberi isyarat dengan gerakkan ringan tidak sehingga mengangkat jari ke atas dan menurunkannya ke bawah. Kerana apabila yang dimaksudkan adalah mengangkat dan menurunkan jari, tentunya telah dijelaskan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga sekiranya yang dimaksudkan dengan menggerakkan adalah menggerakkan ke kiri dan ke kanan nescaya beliau akan menjelaskannya.

Pada dasar maksud hadis, menggerakkannya adalah dengan tetap menghalakannya ke arah kiblat dengan gerakkan yang sedikit.

Kemudiannya, Syaikh Muhammad B. ‘Umar Bazmul menyatakan pada nota kaki tulisannya:

Makna hadis seperti ini saya perolehi daripada al-‘Allamah al-Muhaddis al-Faqih Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah ketika saya bertemu dengan beliau di kota Makkah pada hari Rabu bertarikh 6 Jumadil Awal 1410H. Beliau menerangkan kepadaku makna hadis “beliau menggerak-gerakkan jari tersebut sambil berdoa.” Saya mencatatkan tarikh dan harinya supaya saya tidak dikatakan berdusta atas nama Syaikh. Apa yang saya fahami sebelumnya dari pernyataan beliau dalam kaset-kaset bahawa maksud dari memberi isyarat dengan menggerak-gerakkan jari adalah gerakkan ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan. Namun aku bertanya secara langsung kepada beliau, maka beliau memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan hadis. Dan ternyata apa yang aku fahami dari kaset-kaset beliau tidak seperti yang beliau maksudkan. Bahkan beliau mengatakan bahawa apa yang aku fahami tersebut bertentangan dengan hadis atau makna hadis tersebut. Semoga Allah mengampuninya dan mencurahkan rahmat kepadanya serta memberi beliau ganjaran yang sebaik-baiknya. (Rujuk: Dr. Muhammad B. ‘Umar, at-Tarjih fii Masaa’il ath-Thoharah wa ash-Sholah, edisi terjemahan/terbitan Darus Sunnah, m/s. 346 dan nota kaki no. 601)

Selain penjelasan daripada Syaikh Dr. Muhammad B. ‘Umar ini, Abu Ishaq al-Huwaini juga telah turut memberikan penjelasan yang sama daripada perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Berikut penjelasan yang beliau sampaikan (Rujukan:
rakaman video):
 
Salinan dan terjemahan Teks video: Tahrîk al-Ishba’ (menggerakkan jari telunjuk) sebagaimana yang ditunjukkan oleh guru kami al-Albani rahimahullahu. Saya pernah solat bersama (di sisi) beliau pada suatu hari, lalu aku menggerakkan jari (telunjukku) seperti ini (lihat video). Saya melakukannya seperti ini (iaitu menaik-turunkan jari telunjuk. (Sila lihat video - pen.). Lalu, setelah kami selesai solat, beliau (Syaikh al-Albani) berkata kepadaku:

هل قرأت شيئا يوفق هذه الحركة؟

Adakah anda pernah membaca sesuatu yang mendukung gerakkan seperti ini?”

Subhanallah. Saya benar-benar terkesan dengan adab (etika) Syaikh rahimahullah terhadapku. Beliau tidak dengan serta-merta mengkritik diriku atau perkataanku, (dengan mengatakan) “apa yang kamu lakukan?” … Tidak! Namun beliau bertanya kepadaku, sama ada saya memiliki sandaran/dasar di dalam melakukan gerakkan seperti ini (iaitu naik dan turun).

Saya mengatakan, “Tidak, hanya saya pernah membacanya di dalam buku anda, Shifat Sholah an-Nabii, bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa menggerakkan (jari telunjuknya), maka saya pun turut menggerakkan (jari telunjukku).” Beliau (Syaikh al-Albani) mengatakan: “Tidak, hal ini (gerakan yang anda lakukan) namanya bukanlah tahrik (menggerakkan jari telunjuk) namun namanya adalah al-Khafdh war Raf’u (mengangkat dan menurunkan jari telunjuk).” Namanya apa? Namanya adalah al-Khafdh war Raf’u.

Lalu saya segera bertanya, “Bagaimana cara saya perlu menggerakkannya wahai guru kami?”. Beliau menjawab “Beginilah caranya”, iaitu beliau meletakkan jarinya di atas lutut dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah kiblat, seperti ini (Sila lihat video – pen.) lalu beliau menggerakkan jari (telunjuknya) secara kuat di tempatnya (harakatan syadidatan fii makaanihi). Bukan menggerakkannya naik turun sehingga berpaling dari arah kiblat. Namun, (lakukanlah) seperti ini (lihat video - pen.), jari telunjuk menghala ke kiblat lalu gerakkannya secara kuat seperti ini (lihat video - pen.).

Beginilah sifat tahrik (menggerakkan) jari telunjuk sebagaimana yang pernah saya lihat daripada guru kami, al-Albani rahmatullahu ‘alaihi. (Rujuk: rakaman video)

Demikianlah penjelasan daripada mereka yang pernah bertemu dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sendiri. Sekaligus menafikan tohmahan dan caci-makian Zamihan al-Ghari yang menyindir praktikal tahrik (gerakkan jari telunjuk) tersebut dengan perkataan dan perbuatan yang tidak beradab sama-sekali. Hal itu hanya menjelaskan bahawa beliau (Zamihan) jahil dalam persoalan adab berselisih pendapat dalam persoalan ranting (furu’iyyah). Malah, Zamihan telah menyandarkan sesuatu yang tidak benar ke atas Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Demikianlah bahawa Zamihan telah berdusta dan tidak bersikap ilmiah sama sekali.

Keempat: 4 – Benarkah menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut membatalkan solat?

Dengan keterangan dari pencerahan pertama, kedua dan ketiga di atas, telah jelaslah bahawa ia sama sekali tidak membatalkan solat. Dan ia termasuk ke dalam salah satu perbuatan gerakkan solat itu sendiri (bagi mereka yang menganggapnya sebagai salah satu bentuk sunnah) sebagaimana gerakkan-gerakkan solat yang lainnya.

Malah di dalam banyak hadis telah menyebutkan bolehnya melakukan gerakkan-gerakkan tertentu ketika dalam solat dengan keperluan dan tujuan tertentu. Ini adalah seperti:

1 – Mendukung anak kecil ketika solat (Daripada hadis al-Bukhari)

2 – Membukakan pintu, sebagaimana Nabi membukakan pintu untuk ‘Aisyah sedangkan beliau sedang bersolat. (Daripada hadis riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, an-Nasaa’i)

3 – Menghalang orang yang cuba melintas di hadapan kita ketika sedang solat dengan menggunakan tangan. (Sila rujuk hadis-hadis berkenaan sutrah (penghadang ketika solat)).

4 – Membunuh haiwan yang berbahaya seperi kala jengking dan ular yang menghampiri kita ketika solat. (Daripada hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaa’i)

5 – Menanggalkan kasut di ketika solat kerana terdapat najis. (Daripada hadis riwayat al-Bukhari)

6 – Dibolehkan bagi kaum lelaki bertasbih (Subhanallah) dan wanita menepuk tangan apabila berlaku sesuatu dalam solat berjama’ah. (Daripada hadis riwayat al-Bukhari)

7 – Membalas ucapan salam dengan isyarat tangan. (Daripada hadis riwayat Abu Daud)

8 – Mengubah kedudukan makmum yang tersalah posisi. (Daripada hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dengan ini, alhamdulillah telah terjawablah sudah beberapa persoalan. Jelaslah bahawa apa yang diperkataan oleh Zamihan al-Ghari adalah dusta dan pembohongan ke atas nama ulama.

Semoga pencerahan ini diberikan kebaikan dan manfaat. Kepada Allah jualah kitab berharap dan berserah.

Wallahu a’lam...
 
 
http://bahaya-syirik.blogspot.com/

AQIDAH ASMA’ WASSHIFAT ALLAH YANG DIANUT IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA

AQIDAH ASMA’ WASSHIFAT ALLAH YANG DIANUT IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA

(BANTAHAN TERHADAP laman web DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (bagian ke-3))

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Semoga salawat dan salam sentiasa tercurah pada tauladan yang mulia, manusia terbaik, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam….

Pada bahagian ke-3 ini, akan dijelaskan tentang ‘aqidah Asma’ Was Shifat Ibnu Katsir ( Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir alQurasyi adDimasyqi) – salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- dalam kitab tafsirnya : Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzhiim yang dikenal luas dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir. Sesungguhnya Ibnu Katsir memiliki pemahaman yang sama dengan gurunya, Ibnu Taimiyyah tentang Asma’ Was Sifat Allah. Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman baru. Namun, pemahaman yang sama dengan aqidah Ahlussunnah dari sejak para Sahabat Nabi, tabi’in, dan seterusnya diwariskan oleh para Imam Ahlussunnah.

Syubhat

Terdapat dalam salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah suatu tulisan sebagai berikut :

[[ Aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah Dan Ibnu Qayyim

lihat Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Lainnya :

Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir Ibnu Katsir:

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat (bentuk) dan penyamaan

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya ]]

Bantahan

Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat Al-A’raaf ayat 54

Benarkah aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah? Mari kita kaji tulisan Ibnu Katsir dalam tafsirnya tersebut. Ketika menafsirkan AlQur’an surat al-A’raaf ayat 54, akan terlihat jelas bagaimana pemahaman beliau tersebut. Beliau menyatakan :
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [ الشورى:11 ] بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر". وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل

" Adapun makna firman Allah Ta'ala : (yang ertinya) : 'Kemudian Dia (Allah) beristiwaa' di atas 'Arsy'. Maka manusia dalam hal ini terbahagi dalam (perbezaan) pendapat yang sangat banyak. Bukanlah di sini tempat menjabarkannya. Sesungguhnya (jalan yang seharusnya ditempuh) adalah madzhab as-Salafus Sholih : Maalik, al-'Auzaa-i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, asy-Syaafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahuyah, dan yang selain mereka dari para Imam kaum muslimin baik yang terdahulu mahupun yang sekarang, iaitu : menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menetukan/menanyakan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil). Pemikiran yang tergambar dalam benak orang-orang yang menyerupakan Allah (dengan makhluk) ditiadakan dari Allah. Kerana sesungguhnya tidak ada suatu makhlukpun yang serupa dengan Allah, dan : { Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, dan Dialah (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S Asy-Syuura:11) }. Bahkan, seperti yang diucapkan oleh para Imam, diantaranya Nu'aim bin Hammad -salah seorang guru Imam al-Bukhari- berkata : "Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa yang mengingkari segala yang telah Allah Sifatkan untuk diri-Nya maka dia kafir", dan segala yang telah Allah Sifatkan diriNya mahupun yang disifatkan oleh Rasulullah (untuk Allah) bukanlah penyerupaan (tasybih), barangsiapa yang menetapkan untuk Allah Ta'ala berdasarkan ayat – ayat yang jelas dan khabar-khabar (hadits) yang shohih, sesuai dengan Keagungan Allah Ta'ala, dan meniadakan kekurangan dari-Nya, maka dia telah menempuh jalan petunjuk"
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 426).

Dari penjelasan Ibnu Katsir tersebut jelaslah bahwa :

1. ‘Aqidah Ibnu Katsir sama dengan aqidah Ibnu Taimiyyah.
Dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Katsir menyatakan bahawa Aqidah Salafus Sholeh (yang seharusnya diikuti) dalam Asma’ WasSifat Allah adalah :
menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menanyakan/menentukan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil)
sedangkan Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab arRisaalah atTadmuriyah halaman 4:

فالأصل في هذا الباب أن يوصف الله بما وصف به نفسه، وبما وصفته به رسله، نفيا وإثباتا، فيثبت لله ما أثبته لنفسه، وينفي عنه ما نفاه عن نفسه وقد علم أن طريقة سلف الأمة وأئمتها إثبات ما أثبته من الصفات من غير تكييف ولا تمثيل ومن غير تحريف ولا تعطيل وكذلك ينفون عنه ما نفاه عن نفسه

" Landasan utama dalam pembahasan ini adalah mensifatkan Allah sesuai dengan yang Allah sifatkan Dirinya dengan Sifat tersebut, dan dengan yang disifatkan oleh Rasul-Nya, baik dalam bentuk peniadaan ataupun penetapan. Maka ditetapkan untuk Allah sesuatu yang Allah tetapkan untuk DiriNya, dan meniadakan dari Allah sesuatu yang Allah tiadakan dari DiriNya. Telah diketahui bahawa metode Salaful Ummah dan para Imamnya adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan, tanpa takyiif, tidak pula tamtsiil, tanpa tahriif (menyimpangkan lafadz/maknanya), dan tidak pula menolak (ta’thiil). Demikian juga (para Imam tersebut) meniadakan apa yang Allah tiadakan terhadap DiriNya".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan dalam kitab al-Fatwa al-Hamawiyyah al-Kubro halaman 16 :

ومذهب السلف: أنهم يصفون الله بما وصف به نفسه وبما وصفه به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل

" dan madzhab Salaf bahawasanya mereka mensifatkan Allah dengan apa yang Allah Sifatkan Dirinya, dan dengan apa yang RasulNya sifatkan tanpa tahrif (menyimpangkan lafadz/makna), tidak pula menolak, tanpa takyiif, dan tidak pula menyerupakan (dengan makhluk).

Pernyataan Ibnu Taimiyyah semacam ini boleh dilihat dalam kitab-kitab beliau yang lain semisal al-Aqiidah al-Wasithiyyah, Minhaajus Sunnah anNabawiyyah juz 3 halaman 129, Bayaanu Talbiis al-Jahmiyyah juz 2 halaman 40.

2. Aqidah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir tersebut adalah aqidah para Ulama’ Salaf.

Dalam penjelasan surat Al A’raaf ayat 54 tersebut, Ibnu Katsir menyatakan beberapa contoh Ulama’ terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan, di antaranya :Imam Malik dan Ishaq bin Raahuyah. Kita akan lihat bagaimana penjelasan Imam Maalik dan Ishaq bin Raahuyah tersebut.
Imam Maalik menyatakan :

الإستواء معلوم والكيف مجهول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة

"al-Istiwaa’ sudah diketahui (difahami maknanya secara bahasa Arab), kaifiyatnya tidak diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib, dan menanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah (Lihat Tadzkirotul Huffadz juz 1 halaman 209).

Ishaaq bin Raahuyah (dikenal juga sebagai Ishaaq bin Ibrahim) –salah seorang guru Imam al-Bukhari- menyatakan :

إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ

{ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

"Hanyalah dikatakan sebagai sikap penyerupaan (Allah dengan makhluk) adalah jika seseorang menyatakan tangan (Allah) bagaikan tangan (makhluk), atau seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti (pendengaran) makhluk. Jika menyatakan bahawa pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka itu adalah sikap penyerupaan. Adapun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah : Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan tidak menyatakan ‘bagaimana’ (kaifiyatnya), dan tidak mengatakan seperti pendengaran (makhluk), maka yang demikian ini bukanlah penyerupaan. Yang demikian ini adalah sebagaimana yang Allah nyatakan dalam KitabNya :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak ada yang semisal denganNya suatu apapun, dan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (Lihat Sunan AtTirmidzi bab Maa Jaa-a fi fadhli as-Shodaqoh juz 3 halaman 71).

Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat AlBaqoroh ayat 210

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلَائِكَةُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

"Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan"(Q.S al-Baqoroh:210).

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya :

وقال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية: { هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ } يقول: والملائكة يجيئون في ظلل من الغمام، والله تعالى يجيء فيما يشاء

" dan berkata Abu Ja’far arRaazi dari arRabii’ bin Anas dari Abul ‘Aliyah : ( Q.S al-Baqoroh : 210 tsb) " dan para Malaikat datang dalam naungan awan, dan Allah Ta’ala datang sesuai dengan kehendakNya"

Di dalam tafsir ayat tersebut Ibnu Katsir menukil pendapat Abul ‘Aliyah. Abul ‘Aliyah (nama aslinya adalah Rufai’ bin Mihran) adalah seorang Tabi’in murid dari beberapa Sahabat Nabi di antaranya : Umar bin alKhottob, Ali bin Abi Tholib, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar al-Ghiffary, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Musa, Abu Ayyub, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 4 halaman 207). Perhatikanlah bahawa Abul ‘Aliyah menetapkan sifat ‘datang’ bagi Allah pada hari kiamat nanti sebagaimana yang Allah tetapkan dalam ayatNya tersebut tanpa melakukan tahrif (memalingkan) makna atau lafadznya seperti yang dilakukan golongan al-Asya-iroh (Asy-‘ariyyah). Pendapat Abul ‘Aliyah inilah yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sekaligus sebagai pemahaman beliau terhadap Asma’ WasSifat Allah.

Tafsir Ibnu Katsir Surat ArRahmaan ayat 26-27

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)

Ibnu Katsir menyatakan :

وقد نعت تعالى وجهه الكريم في هذه الآية الكريمة بأنه ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

" dan sungguh Allah Ta’ala telah mensifatkan WajahNya Yang Mulia di dalam ayat yang mulia ini sebagai ‘yang memiliki keagungan dan kemulyaan’

Di dalam tafsirnya tentang ayat ini Ibnu Katsir telah menetapkan Wajah bagi Allah, kerana memang Allah sendiri yang menetapkannya dalam AlQur’an. Beliau tidak menolak, memalingkan maknanya, melakukan takyiif (menentukan/menayakan kaifiyatnya), ataupun menyamakannya dengan makhluk.

Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Fajr ayat 22

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر:22)

" dan datanglah TuhanMu sedang malaikat berbaris-baris"

Ibnu Katsir menyatakan :

وَجَاءَ رَبُّكَ يعني: لفصل القضاء بين خلقه

" dan datanglah Tuhanmu, iaitu : untuk mengadili para makhlukNya"

Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan bahawa Allah datang secara hakikat. Beliau tidak melakukan tahrif, tidak pula takyiif, ta’thiil, dan tasybiih.

Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47

Sebahagian orang menganggap Ibnu Katsir berpemahaman Asy’ariyyah kerana menafsirkan ayat ini berdasarkan penjelasan Sahabat Nabi Ibnu Abbas. Dalam ayat ini Allah berfirman :

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ


"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya"

Ibnu Katsir menyatakan di dalam tafsirnya bahawa makna بِأَيْدٍ artinya adalah ‘dengan kekuatan’ sebagaimana perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah, atsTsaury dan selainnya.

Penafsiran ini dianggap sebagai pembenaran terhadap metode al-Asyaa-iroh (Asy’ariyyah) yang mentakwil ayat-ayat tentang Sifat Allah. Mereka menganggap kata بِأَيْدٍ adalah bentuk jamak dari kata يَدٌ yang berarti ‘tangan’. Padahal persangkaan itu adalah keliru.

Syaikh AsySyinqithy menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Adl-waaul Bayaan:

قوله تعالى في هذه الآية الكريمة { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } ، ليس من آيات الصفات المعروفة بهذا الاسم ، لأن قوله { بِأَيْدٍ } ليس جمع يد : وإنما الأيد القوة ، فوزن قوله هنا بأيد فعل ، ووزن الأيدي أفعل ، فالهمزة في قوله { بأَيْدٍ } في مكان الفاء والياء في مكان العين ، والدال في مكان اللام . ولو كان قوله تعالى : { بأَيْدٍ } جمع يد لكان وزنه أفعلاً ، فتكون الهمزة زائدة والياء في مكان الفاء ، والدال في مكان العين والياء المحذوفة لكونه منقوصاً هي اللام . والأيد ، والآد في لغة العرب بمعنى القوة ، ورجل أيد قوي ، ومنه قوله تعالى { وَأَيَّدْنَاهُ بروح القدس } [ البقرة : 87 و 253 ] أي قويناه به ، فمن ظن أنها جمع يد في هذه الآية فقد غلط غلطاً فاشحاً

" Firman Allah di dalam ayat yang mulia ini : { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } bukanlah termasuk ayat-ayat tentang Sifat yang dikenal dengan isim (kata benda) ini. Kerana kata بِأَيْدٍ bukanlah bentuk jamak dari يد (tangan). Sesungguhnya ia adalah (dari kata) الأيد yang berarti kekuatan. Maka wazan بِأَيْد di sini adalah فَعَلَ dan wazan الأيدي adalah أَفْعَلَ . Sehingga huruf hamzah dalam kata بِأَيْد menempati posisi fa’, ya’ pada posisi ‘ain, dan dal pada posisi lam. Kalau seandainya بِأَيْد jama’ dari يد maka wazannya adalah أفعلاً sehingga hamzah tambahan dan ya’ pada posisi fa’, dal pada posisi ‘ain, dan ya’ dibuang kerana keberadaannya manqush pada posisi lam. Dalam bahasa Arab الأيد dan الآد bermakna kekuatan. (Seperti ucapan seseorang) ورجل أيد قوي, di antara (penggunaan kata ini) adalah dalam firman Allah :

وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ


" dan Kami kuatkan ia dengan Ruhul Qudus" (Q.S AlBaqoroh ayat 87 dan 253).

Maknanya adalah ‘Kami kuatkan ia dengannya’. Barangsiapa yang menyangka bahawa kata tersebut adalah bentuk jamak dari ‘tangan’ pada ayat ini, maka ia telah salah dengan kesalahan yang melampaui batas ( Lihat Tafsir Adlwaa-ul Bayaan juz 8 halaman 11).


Dari sini nampak jelaslah kesalahan dari tulisan yang ada di salah satu blog penentang Ahlussunnah pada tulisannya :


[[ Kemudian mengenai  lafadz mutasyabihat biaidin (dengan tangan)

ertinya : " Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(bi aidin = Kekuasaan)  Kami…." (Qs adzariyat ayat 47) ]]

sehingga penulis dalam blog penentang Ahlussunnah tersebut mengira Ibnu Katsir telah melakukan takwil terhadap ayat Sifat.

Demikianlah saudaraku kaum muslimin, dari penjelasan di atas boleh disimpulkan bahawa al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpedoman dengan manhaj Salafus Sholeh dalam memahami ayat-ayat tentang Nama dan Sifat-Sifat Allah. Pemahaman beliau ini sama dengan pemahaman gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang sebenarnya pemahaman tersebut bukanlah manhaj baru. Bukanlah pemahaman yang diada-adakan oleh Ibnu Taimiyyah, namun pemahaman para Imam Ahlussunnah. Telah dikemukakan di atas ucapan-ucapan dari para Imam tersebut di antaranya Abul ‘Aliyah (seorang tabi’i murid para Sahabat Nabi), Imam Maalik (guru Imam AsySyaafi’i), Ishaq bin Raahuyah dan Nu’aim bin Hammad (dua-duanya adalah guru Imam al-Bukhari).

Semoga Allah sentiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua....................

Ditulis Oleh : Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id

Saturday, August 21, 2010

KEDUSTAAN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

KEDUSTAAN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

    Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Semoga salawat dan salam sentiasa tercurah pada pembimbing yang mulia Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya dengan baik.
    
Saudaraku kaum muslimin…..
    Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (semoga Allah sentiasa merahmati beliau) tidak diragukan lagi adalah salah seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau adalah salah seorang pewaris Nabi. Para penentang dakwah Ahlussunnah banyak yang menukil ucapan atau perbuatan beliau. Namun sayangnya, nukilan tentang beliau juga tidak sedikit yang berdasarkan riwayat yang lemah bahkan palsu.
    Salah satu kisah yang hampir selalu ada bersamaan dengan syubhat tentang tawassul dan tabarruk adalah kisah tabarruknya Imam Asy-Syafi’i di kuburan Abu Hanifah. Di dalam salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah terdapat tulisan berjudul ‘Tawassul / Istighatsah (1); Sebuah Pengantar’ di sana disebutkan kisah tersebut.
    Tulisan ini akan membahas secara ilmiah sisi kelemahan riwayat kisah tersebut disertai bukti pertentangannya dengan keyakinan Imam Asy-Syafi’i, mahupun Abu Hanifah dan pengikut madzhabnya sendiri terkait hal-hal yang dibenci dilakukan terhadap kuburan, disertai dengan dalil hadits Nabi yang melarang perbuatan pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah sentiasa mengaruniakan hidayahNya kepada kita semua….

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)

Syubhat :

 [[

Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanaf) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan solat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)

]]

Bantahan :
    Mengenai sanad riwayat tersebut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany menyatakan:  “ Ini adalah riwayat yang lemah bahkan batil. Kerana sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenali. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi. Boleh jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakn Abu Muhammad at-Tuunisi. Al-Khotib (al-Baghdady) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahawa ia adalah Bukhary (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H. Tetapi (al-Khotib) tidaklah menyebutkan jarh(celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaanya tidak dikenal). (Tetapi) kemungkinan (bahawa ia adalah ‘Amr) jauh, kerana tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahawa keduanya pernah bertemu” ( Lihat Silsilah al-Ahaadits Adh-Dhaifah juz 1 halaman 99).
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim halaman 165:

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل ، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة ، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا ، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين ، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين أفضل من أبي حنيفة وأمثاله من العلماء . فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده . ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم ، ولم يكونوا يتحرون الدعاء لا عند أبي حنيفة ولا غيره .
ثم قد تقدم عند الشافعي ما هو ثابت في كتابه من كراهة تعظيم قبور المخلوقين خشية الفتنة بها ، وإنما يضع مثل هذه الحكايات من يقل علمه ودينه .

“ yang demikian ini telah dimaklumi kedustaannya secara idlthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Kerana sesungguhnya As-Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdoa di sisinya sama sekali. Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir  kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para Ulama’. Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana (kubur Abu Hanifah). Kemudian, para Sahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang seangkatan dengan mereka. Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya. Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau  tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq kerana dikhawatirkan boleh menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) Diennya”.
    Memang benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- bahawa salah satu bukti jelas kedustaan kisah tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sendiri :

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“ dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (kerana) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya” (lihat al-Majmu’  karya Imam AnNawawi juz 5 halaman 314, al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i sendiri juz 1 halaman 317).
    Benar pula perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahawa di masa hidup Imam Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang memungkinkan untuk berdoa khusus di sisinya. Hal ini kerana memang para pemerintah muslim pada waktu itu memerintahkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan pada kuburan, dan sikap pemerintah muslim tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Asy-Syafi’i:
وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“ dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’ (Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” (Lihat kitab al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz 1 halaman 316, al-Majmu’ karya Imam AnNawawy juz 5 halaman 298).
    Sikap para pemimpin muslim yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan tersebut memang sesuai dengan hadits Nabi:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ  نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“ dari Jabir beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan di’lepa’ (semen/kapur), diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya”(H.R Muslim)
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“ dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali (bin Abi Tholib) berkata kepadaku: Mahukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku? Janganlah engkau tinggalkan patung/gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang diagungkan kecuali diratakan” (H.R Muslim. Sedikit faedah yang boleh diambil, ketika mensyarah hadits ini Imam AnNawawy menyatakan: ‘di dalamnya terdapat perintah mengganti/merubah gambar-gambar makhluk bernyawa’).
    

Perhatikan pula kalimat dalam kisah tersebut bahawa Asy-Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari. Ya, disebutkan dalam kisah itu ‘setiap hari’. Bagi orang yang berakal, dan faham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari kedustaan kisah tersebut. Al-Imam Asy-Syafi’i banyak melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain.
Beliau dilahirkan di daerah Gaza (Syam) dan membesar di tanah suci Mekkah (sebagaimana dijelaskan Adz-Dzahaby dan al-Imam AnNawawi dalam Tahdzib Asma’ Wal Lughot (1/49)). Beliau mempelajari fiqh awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl. Kemudian beliau pindah ke Madinah menuntut ilmu pada Imam Maalik. Selanjutnya beliau pindah ke Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan beberapa ulama’ lain. Dari Yaman beliau menuju Iraq (Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq iaitu Muhammad bin al-Hasan. Beliau mengambil ilmu juga pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang lain. Setelah beberapa lama di Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat baru (qoul qodiim) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ pada bahagian yang mengisahkan biografi Imam Asy-Syafi’i).
     Perhatikanlah, demikian sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri. Bagaimana mungkin setiap hari beliau berdoa di makam Abu Hanifah? Bagaimana mungkin –jika memang berdoa di sisi makam dengan tawassul pada penghuni kuburan tersebut diperbolehkan menurut beliau- dikhususkan pada makam Abu Hanifah, padahal salah satu tempat menuntut ilmu beliau adalah Madinah, tempat dimakamkannya manusia terbaik, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam. Negeri-negeri lain yang beliau singgahi banyak kuburan para Nabi, para Sahabat Nabi, tabi’in dan orang-orang yang jauh lebih utama dari Abu Hanifah, maka mengapa beliau mengkhususkan pada kuburan Abu Hanifah? Padahal beliau tidaklah pernah mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah. Bagaimana boleh mengambil ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau?
    Selanjutnya, akan disebutkan penjelasan dari Ulama’ lain bahawa kisah tersebut memang dusta. Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan : “ hikayat yang dinukilkan dari Asy-Syafi’i bahawa beliau memaksudkan doa di sisi kuburan Abu Hanifah adalah kedustaan yang jelas” (Lihat Ighatsatul Lahafaan (1/246)).
    Sebenarnya bagi orang yang mengerti kadar keilmuan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, cukuplah hal itu sebagai penjelas. Kami akan nukilkan ucapan ahlut tafsir Ibnu Katsir tentang guru sekaligus sahabatnya tersebut, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah agar orang-orang yang meremehkannya menjadi sedar (InsyaAllah suatu saat akan dikaji penjelasan tentang beliau khusus sebagai bantahan bagi orang-orang yang membencinya).
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan tentang beliau :

ولد في سنة إحدى وتسعين وستمائة وسمع الحديث واشتغل بالعلم وبرع في علوم متعددة لا سيما علم التفسير والحديث والأصلين ولما عاد الشيخ تقي الدين ابن تيمية من الديار المصرية في سنة ثنتي عشرة وسبعمائة لازمه إلى أن مات الشيخ فأخذ عنه علماً جما مع ما سلف له من الاشتغال فصار فريداً في بابه في فنون كثيرة مع كثرة الطلب ليلاً ونهاراً وكثرة الابتهال وكان حسن القراءة والخلق كثير التودد لا يحسد أحداً ولا يؤذيه ولا يستعيبه ولا يحقد على أحد وكنت من أصحب الناس له وأحب الناس إليه ولا أعرف في هذا العالم في زماننا أكثر عبادة منه وكانت له طريقة في الصلاة يطيلها جداً ويمد ركوعها وسجودها

“beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Banyak mendengar hadits, sibuk dengan ilmu, mahir dalam ilmu yang bermacam-macam khususnya ilmu tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Ushul. Dan ketika Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, beliau bermulazamah (memfokuskan diri untuk belajar pada Ibnu Taimiyyah), sampai meninggalnya Syaikh (Ibnu Taimiyyah), maka beliau mengambil darinya ilmu yang banyak, bersamaan dengan kesibukan beliau sebelumnya, sehingga jadilah beliau orang yang istimewa dalam beberapa bidang yang banyak. Bersamaan dengan banyaknya kesibukan beliau menuntut ilmu siang malam, banyak beribadah, dan beliau baik bacaan (Quran)nya, baik akhlaqnya, memiliki sifat penyayang, tidak pernah dengki pada siapapun, tidak pernah menyakiti siapapun, tidak pernah mencari aib orang lain, tidak pernah dendam pada seorangpun, dan saya termasuk sahabat terdekatnya, dan manusia yang paling dicintainya, dan saya tidak mengetahui di zaman kami ada orang yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan beliau. Beliau jika solat (sunnah) sangat lama, memanjangkan waktu ruku’ dan sujudnya” (Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah juz 14 halaman 270).
    Simaklah persaksian Ibnu Katsir tentang keilmuan dan akhlaq Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Jika Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahawa hikayat itu dusta, tidaklah penilaian beliau itu bersifat tendensius kerana membenci kelompok tertentu sehingga kemudian tidak objektif. Beliau bukanlah orang yang berakhlak buruk, suka dendam dan mencari aib orang lain. Beliau menilai kedustaan tersebut atas dasar keilmuan beliau.
    Hal lain yang menunjukkan sisi kelemahan kisah itu –sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- adalah tidak adanya Sahabat/ murid dekat Abu Hanifah yang melakukan hal itu. Tidak ada di antara mereka yang sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdoa dan bertawassul agar doanya lebih mudah dikabulkan. Bagaimana tidak, jika perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk dijadikan perantara dalam doa seorang hamba kepada Allah. Al-Imam Abu Hanifah berkata:

لا ينبغي لاحد أن يدعو الله إلا به ، والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ، ما استفيد من قوله تعالى : { ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون{

“ tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali denganNya, dan doa yang diizinkan dan diperintahkan adalah apa yang boleh diambil faedah dari firman Allah: ‘Hanya milik Allah asmaa-ul husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan’ (Lihat Ad-Durrul Mukhtaar min Haasyiyatil Mukhtaar(6/396-397)).

يكره أن يقول الداعي : أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام

adalah suatu hal yang dibenci jika seorang berdoa:’ aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam “ (Lihat Syarh Fiqhil Akbar lil Qoori halaman 189).
    Kalau kita melihat sikap para Ulama’ Salaf, justru mereka mengingkari perbuatan orang yang berdoa di sisi makam untuk bertawassul. Kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin Abi Tholib. Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushannafnya dan juga Ibnu Abi Syaibah :
عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(
“ dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang lelaki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Mahukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersalawatlah kepadaku kerana salawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nombor 6726).
    Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.
    Demikianlah saudaraku kaum muslimin, sedikit penjelasan tentang kedustaan kisah tabarruk Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah. Perlu difahami, bahawa jika kita menyatakan secara ilmiah bahawa kisah itu dusta bukan bererti kita menuduh al-Khotib al-Baghdady sebagai pendusta. Beliau sekadar menyebutkan riwayat. Dalam penyebutan riwayat, beliau mendapat khabar tersebut dari orang yang menyampaikan kepadanya, orang yang menyampaikan kepada beliau mengaku mendapat khabar dari orang yang di ‘atas’nya dan seterusnya. Telah dijelaskan di atas bahawa pada rantaian perawi kisah tersebut terdapat orang yang majhul (tidak dikenal di kalangan para Ulama’ Ahlul Hadits yang ahli dalam meneliti periwayatan).
    Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kalimat-kalimat indah yang disampaikan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sebagai pelajaran penting bagi kita semua. Beliau menyatakan kalimat-kalimat berikut ini:

 إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بها، ودعوا ما قلته

“ jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam maka berbicaralah dengan Sunnah itu dan tinggalkanlah ucapanku” (Lihat Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (9/106) dan Siyaar a’laamin Nubalaa’  karya Adz-Dzahaby juz 10 halaman 34).

متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا ولم آخذ به، فأشهدكم أن عقلي قد ذهب

“ bila saja aku meriwayatkan dari Rasulullah hadits shahih kemudian aku tidak berpegang (berpendapat) dengannya, maka persaksikanlah bahawa akalku telah pergi” (Lihat Siyar a’laamin Nubalaa’  juz 10 halaman 34).

كل ما قلته فكان من رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني

“ semua yang aku ucapkan, jika ada (khabar) yang shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah taklid kepadaku” (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34, al-Manaaqib karya Adz-Dzahaby (1/473)).

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id

banksufi.blogspot.com

Thursday, August 19, 2010

Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?

SYUBHAT :  
Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti (menurut versi mereka) bahawa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi seorang Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka menukil tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan mi-ah ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa kutipan yang mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.

Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”

…berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
  

BANTAHAN :
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?
    Kalau kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar al-‘Asqolaany tersebut, akan terlihat bahawa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah di hadapan majlis para “Ulama’” waktu  itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah meninggal pada tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- bererti selama kurang lebih 21 tahun Ibnu Taimiyyah berfahaman Asy’ari. Benarkah demikian?
    Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti –bukti yang menunjukkan bahawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut akan dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahawa Beliau Tetap Kukoh pada Manhajnya.

1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
      Rujukan kita adalah kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir. Bagaimana kita boleh mengetahui bahawa kitab-kitab tertentu ditulis pada kurun waktu tertentu? Boleh dilihat pada penjelasan di muqoddimah pentahqiq kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahawa kitab tersebut diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun indikasi-indikasi lain yang menunjukkan hal tersebut.
    Di antara kitab-kitab yang beliau tulis setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidlah. Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meluruskan pemahaman Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah (kaum mu’minin melihat Allah di akhirat) mahupun penetapan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (boleh dilihat salah satu contohnya adalah pada bahagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 mahupun bahagian ‘Kalaamur Raafidly ‘ala maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan dalam kitab Fathul Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di kitab Fathul Baari (1/182 bab Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut sebagai ‘a-Radd ‘ala ar-Rafidhy’.
    Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyiin,  al-Jawabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih, dan alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu Taimiyyah menyebutkan Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang sempurna. Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif yang biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna yang lain.
    Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah keyakinan Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam (berbicara) bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi memaknakannya secara hakiki. Perlu diketahui bahawa kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari (21/151).
Lebih jelas lagi, kitab yang boleh menghentikan syubuhat bahawa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari adalah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya beliau membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk al-‘Asyaa-iroh (Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan kesesatan orang-orang yang mengingkari: ru’yatullah (bahawa Allah dapat dilihat oleh orang beriman di akhirat) dan ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul pertanyaan : bilakah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis? Jawapannya : kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr. Muhammad Rosyad Salim menyatakan bahawa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717 H. Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi Asy-‘ari semuanya ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql ini. Sebagai contoh, di dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah beberapa kali beliau mengisyaratkan rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql.
      
    
2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahawa Beliau Tetap Kukoh pada Manhajnya.
    Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau telah dipenjara berkali-kali untuk memutuskan permusuhannya (terhadap ahlul bid’ah) dan mengurangi ‘tajamnya’ lisan dan pena beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) mahupun melunak sampai beliau meninggal”
Pada bahagian lain Imam AdzDzahaby juga menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما ... وهو ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه وسعة دائرته في السنن و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari Mesir dan Syam…dalam keadaan beliau tetap kukoh, tidak mencari muka ataupun berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang pahit berdasarkan ijtihadnya, tajamnya fikiran, dan luasnya wawasan tentang Sunnah – sunnah dan ucapan-ucapan”
    Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار نائب مصر القضاة الثلاثة وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي، والفقهاء الباجي والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من الحبس، فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم، وتكررت الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم يعدهم شيئا، فطال عليهم المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada malam Iedul Fithri al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan anNamrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebahagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebahagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majlis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kukoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majlis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan Nihaayah juz 14 hal 47)
    Dari penjelasan di atas nampaklah secara gamblang bahawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Pemahaman beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak berubah sebagaimana yang difahami Salafus Sholih, iaitu meyakininya tanpa tahriif ( meyimpangkan lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga ta’thiil (menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman tersebut tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam al-‘Aqiidah al- Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
    Al-Hafidz as-Sakhowy menukil perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar tersebut adalah :
...ولقد قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق " أنه كافر "
“...dan sungguh para Ulama’ telah bangkit terhadap Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari dari permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majlis di Kairo mahupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka yang memfatwakan bahawa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang menghukumi halalnya darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang fanatik terhadap beliau dari kalangan penduduk negeri. Sampai beliau dipenjara di Mesir kemudian di alIskandariyah. Bersamaan dengan itu semuanya mengakui luasnya ilmu beliau, banyaknya sikap wara’ dan zuhud beliau, dan mereka mensifati beliau dengan dermawan (pemurah), keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap Islam, dakwah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi mahupun terang terangan. Maka, bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai ‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب  
“...beliau adalah Syaikhul Islam tanpa diragukan lagi”
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد المتعصبين عليه ، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني ، يشهد له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“...bersamaan dengan itu beliau adalah manusia yang boleh salah dan boleh benar. Pendapat beliau yang benar – yang ini sangat banyak- dapat diambil faedah, dan didoakan agar beliau mendapat rahmat dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan pendapat beliau yang salah tidak diikuti, bahkan dimaafkan. Kerana ulama’ yang sezaman dengan beliau mempersaksikan bahawa perangkat untuk berijtihad telah terkumpul pada beliau, sehingga orang yang sangat fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang selalu berusaha menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin az-Zamlakaany mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin bin alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan lain dari Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang terkenal Syamsuddin Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat bagi pendukung mahupun penentangnya, nescaya cukuplah sebagai bukti agungnya kedudukan beliau. Maka bagaimana (tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau dari kalangan Syafiiyah dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah mempersaksikan keunggulan beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam ucapan dan pemahaman”. (al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
    Di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyyah tidak kurang dari 25 kali. Beberapa yang dapat dinukil di sini :
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang makna siksaan bagi mayit kerana sebab ratapan yang dilakukan keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ، وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah perasaan sakit si mayit kerana apa yang terjadi dari keluarganya berupa ratapan atau semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary dari kalangan mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan ‘Iyaadl, dan pengikutnya, pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan mutaakhkhirin, dan mereka berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “ (Fathul Baari juz 4 halaman 327).
 Pada saat menjelaskan pendapat para Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar menyatakan :
سَادِسهَا هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا يُحْفَظ عَنْ الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di anNaar (neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi (hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahawasanya itu adalah perkataan sebahagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil) dari Imam (Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف
“ dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘ Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan beliau berpendapat tawaqquf (tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman 78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي كِتَاب الرَّدّ عَلَى الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى : ( إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ عِمْرَان ) أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam al-Bukhari) : Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan pendapat seluruh Ulama’ adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh) bagi yang berpendapat bahawa namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah pendapat yang batil, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya arRadd alar Raafidli bahawa sebahagian orang Syiah Rafidlah menyangka bahawa firman Allah (Q.S Ali Imran :33) : “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” , bahawa yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan bahawasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah (gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
    Contoh nukilan di atas hanyalah beberapa contoh yang menunjukkan bahawa Ibnu Hajar al-‘Asqolaany banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah. Di antaranya adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ : إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُسْلِمِينَ الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“ Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyyah : maka beliau berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan tidaklah diketahui sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan kaum muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahawa hadits tersebut palsu” (atTalkhiisul Habiir juz 4  halaman 156).
    Demikianlah, saudaraku kaum muslimin, semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas jelaslah bahawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah pemahaman menjadi seorang ‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Ulama’ Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan dari Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat banyak pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, kerana juga banyak saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu keadaan sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ ikutan. Belum lagi kami paparkan pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu Taimiyyah dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
    Semoga Allah sentiasa memberikan hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk www.darussalaf.or.id

Rujukan :
1.http://www.islam-qa.com/ar/ref/96323
2.http://saaid.net/monawein/taimiah/27.htm
3.Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam software : maowsoat_ibntaimia_01.
4.Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5.Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah AsySyaamilah)
6.At-Talkhiisul Habiir (Maktabah AsySyaamilah)